EROSI
A. PENGERTIAN EROSI
Istilah erosi digunakan dalam bidang geologi untuk menggambarkan proses pembentukan alur – alur atau parit – parit dan penghanyutan bahan – bahan padat oleh aliran air.
Jadi yang dimaksud dengan erosi adalah suatu proses di mana tanah dihancurkan dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan angin, air atau gravitasi. Di Indonesia, erosi yang terpenting adalah yang disebabkan oleh air.
Erosi pada umumnya terjadi oleh akibat hujan dan angin. Erosi hujan bermula dari turunnya hujan. Erosi juga terjadi di sepanjang tebing sungai, dimana kecepatan aliran tinggi dan tahanan material tanggul rendah. Banjir yang berkepanjangan dan diikuti proses degradasi yang lain, juga membuat tebing sungai harus dilindungi. Terjadinya pipa – pipa di dalam tanah akibat terangkutnya butiran – butiran halus tanah oleh rembesan ( disebut piping ), atau mata air yang keluar dari permukaan tanah, juga merupakan bentuk lain dari erosi yang dalam hal ini diakibatkan oleh rembesan dan munculnya air dari permukaan lereng yang tidak dilindungi.
B. JENIS – JENIS EROSI AIR
Proses erosi oleh air hujan dapat dikelompokkan menjadi 5 macam, yaitu :
Erosi percikan ( splash erosion )
Erosi lembaran ( sheet erosion )
Erosi alur ( rill erosion )
Erosi parit ( gully erosion )
Erosi sungai/saluran ( stream/channel erosion )
a). EROSI PERCIKAN
Erosi percikan ( splash erosion ) adalah erosi hasil dari percikan/benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan penyebaran hujan ke permukaan tanah, kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi yang ditimbulkannya.
b). EROSI LEMBARAN
Yang dimaksud dengan erosi lembaran ( sheet erosion ) adalah erosi akibat terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis.
c). EROSI ALUR
Erosi alur ( rills erosion ) adalah erosi akibat pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, dimana pada bagian tersebut telah terjadi konsentrasi aliran air hujan di permukaan tanah.
d). EROSI PARIT
Erosi parit ( gully erosion ) adalah kelanjutan dari erosi alur, yaitu terjadi bila alur – alur menjadi semakin lebar dan dalam yang membentuk parit dengan kedalaman yang dapat mencapai 1 – 2,5 m atau lebih. Parit ini membawa air pada saat dan segera setelah hujan, dan tidak seperti alur, parit tidak dapat lenyap oleh pengolahan tanah secara normal. Parit – parit cenderung terbentuk menyerupai huruf V dan U, dimana aliran limpasan dengan volume besar terkonsentrasi dan mengalir ke bawah lereng terjal pada tanah yang mudah tererosi. Bila tanah tahan terhadap erosi, maka alurnya berbentuk V, bila tidak tahan erosi ( tanah – tanah tak berkohesi ) berbentuk U.
Erosi parit tidak selalu terbentuk dari erosi alur, contohnya akibat penebangan pohon secara liar, pembakaran dan semacamnya mengakibatkan daya tampung air pada daerah tersebut terlampaui, sehingga air mengalir dalam jumlah besar dari daerah tampungan tersebut menuju ke bawah lereng yang permukaannya tidak tahan terhadap erosi. Contoh lainnya adalah pada bagian outlet drainase ( box culvert ) yang tidak dilindungi pasangan batu/beton sering terbentuk erosi – erosi parit.
e). EROSI SUNGAI/SALURAN
Erosi sungai atau saluran merupakan erosi yang terjadi akibat dari terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan sediment di sepanjang dasar saluran. Erosi semacam ini dipengaruhi oleh variabel hidrologi/hidrolik yang mempengaruhi sistem sungai.
C. PROSES TERJADINYA EROSI
Erosi merupakan proses alam yang terjadi di banyak lokasi yang biasanya semakin diperparah oleh ulah manusia. Proses alam yang menyebabkan terjadinya erosi adalah karena faktor curah hujan, tekstur tanah, tingkat kemiringan dan tutupan tanah.
Intensitas curah hujan yang tinggi di suatu lokasi yang tekstur tanahnya adalah sedimen, misalnya pasir serta letak tanahnya juga agak curam menimbulkan tingkat erosi yang tinggi.
Selain faktor curah hujan, tekstur tanah dan kemiringannya, tutupan tanah juga mempengaruhi tingkat erosi. Tanah yang gundul tanpa ada tanaman pohon atau rumput akan rawan terhadap erosi. Erosi juga dapat disebabkan oleh angin, air laut dan es.
D. PENYEBAB TERJADINYA EROSI
Curah hujan yang tinggi
Vegetasi penutup lahan yang kurang
Kemiringan lereng
Kerusakan yang disebabkan oleh manusia
1) Curah hujan
Sifat-sifat hujan yang perlu diketahui :
· Intensitas hujan : banyaknya hujan persatuan waktu. dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam
· Jumlah hujan : banyaknya air hujan selama terjadi hujan, selama satu bulan atau satu tahun dsb.
· Distribusi hujan : penyebaran waktu terjadinya hujan
Dari sifat-sifat hujan tersebut yang paling berpengaruh terhadap besarnya erosi adalah intensitas hujan. Jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila hujan tersebut terjadi secara merata, sedikit demi sedikit sepanjang tahun. Sebaliknya, curah hujan rata-rata tahunan yang rendah mungkin dapat menyebabkan erosi berat bila hujan tersebut jatuh sangat deras meskipun hanya sekali-kali.
2) Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah :
· Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah shg kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi. Makin rapat vegetasi,makin efektif mencegah terjadinya erosi.
· Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi
· Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan air) melalui vegetasi
3) Pengaruh lereng
Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat shg kekuatan mengangkut meningkat pula. Lerng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar.
4) Kerusakan yang disebabkan oleh manusia
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh baik bagi manusia karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya, penggundulan hutan di daerah-daerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang jelek karena dapat mempengaruhi banjir.
E. DAMPAK EROSI
Erosi tidak hanya menyebabkan kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi,tetapi juga kerusakan-kerusakan di tempat lain di mana erosi-erosi tersebut diendapkan.
Dampak erosi dapat ditemui :
Di tempat terjadinya erosi
Di tempat penerima hasil erosi
Kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi terutama akibat hilangnya sebagian
tanah dari tempat tersebut karena erosi. Hilangnya sebagian tanah ini mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
* Menghasilkan tanah kritis di berbagai tempat
* Menurunnya produksi shg mengurangi pendapatan petani
* Kehilangan unsur hara yang diperlukan tanaman
* Kualitas tanaman menurun
* Laju infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air berkurang
* Struktur tanah menjadi rusak
Erosi gully dan tebing (longsor) menyebabkan lahan terbagi-bagi dan mengurangi luas lahan yang dapat ditanami
Erosi juga dapat menyebabkan kerusakan di tempat-tempat penerima hasil erosi. Erosi memindahkan tanah berikut senyawa-senyawa kimia yang ada di dalamnya seperti unsur-unsur hara tanaman atau sisa pestisida dan herbisida.
F. PENGENDALIAN EROSI PERMUKAAN
Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi. Tindakan-tindakan tersebut antara lain :
- Menanami dengan tanaman penutup pada bukit – bukit yang gundul
- Pada tebing – tebing yang miring atau curam ditanami dengan tanaman – tanaman keras
- Menghutankan sepanjang Daerah Aliran Sungai ( DAS ) dengan tanaman – tanaman keras
- Pengolahan lahan pertanian di lereng – lereng gunung dan daerah – daerah miring yang dilakukan secara sengkedan
- Menghutankan daerah pantai dengan tanaman bakau atau api – api
- Membangun bangunan – bangunan pemecah ombak pada pantai – pantai yang bertebing curam
Usaha pengendalian erosi dapat dilaksanakan dengan cara :
*Metode vegatatif
Metode vegetatif dapat dilakukan dengan cara :
· Penghijauan kembali
· Menanam tanaman penutup tanah (cover crop)
* Cara mekanik
Dapat dilakukan dengan cara :
· Pengolahan tanah menurut kontur
· Galengan dan saluran menurut kontur
· Perbaikan drainase dan perbaikan irigasi
* Metode kimia
Metode ini dilakukan dengan menggunakan bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah, yaitu meningkatkan kemantapan agregat. Tanah dengan struktur tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh air hujan.Penggunaan bahan kimia untuk pengawetan tanah belum banyak dilakukan. Walaupun cukup efektif tetapi biayanya mahal. Pada waktu sekarang ini umumnya masih dalam tingkat percobaan.
Rabu, 04 November 2009
Selasa, 03 November 2009
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan salah satu benuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya.
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abarasi, pencegahan intrsi air laut , serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Pada Ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut. Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya mulai dari pantai hingga ke daratan, dengan urutn jenis paling luar dijumpai Avecennia sp, dan secara berangsur-angsur diikuti oleh jenis-jenis Rhizopra sp, Bruguiera sp, Ceriops sp dan Xylocarpus sp.
Karakteristik mngrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus Rhizopora, akar napas ( pneumatophores) pada genus Avicennia dan sonneratia; akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera; dan akar papan (plank roots) yang dijumpai pada genus Xylocarpus.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multiguna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan; serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya.
Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang , memperlambat arus pasang surut, menehan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksige lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat.
Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari maka bgi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, sepeti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasama nutfah.
Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal, dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan.
Mecermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan “tambak” yang kurang terkontrol, akan menyebabkan terdegradasinya habitat maupun vegetasinya, yang secara langsung mupun tidak langsung peranan fungsi menjadi terganggu.
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abarasi, pencegahan intrsi air laut , serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Pada Ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut. Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya mulai dari pantai hingga ke daratan, dengan urutn jenis paling luar dijumpai Avecennia sp, dan secara berangsur-angsur diikuti oleh jenis-jenis Rhizopra sp, Bruguiera sp, Ceriops sp dan Xylocarpus sp.
Karakteristik mngrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus Rhizopora, akar napas ( pneumatophores) pada genus Avicennia dan sonneratia; akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera; dan akar papan (plank roots) yang dijumpai pada genus Xylocarpus.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multiguna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan; serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya.
Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang , memperlambat arus pasang surut, menehan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksige lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat.
Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari maka bgi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, sepeti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasama nutfah.
Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal, dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan.
Mecermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan “tambak” yang kurang terkontrol, akan menyebabkan terdegradasinya habitat maupun vegetasinya, yang secara langsung mupun tidak langsung peranan fungsi menjadi terganggu.
Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesi
Pengelolaan sumber daya alam Indonesia
DI SEKTOR MIGAS : Masalah kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang atas kekayaan alam Indonesia.
DI SEKTOR MIGAS : Masalah kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang atas kekayaan alam Indonesia.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil” memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.
Berbagai kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus mis-manajemen yang diungkap pada Habibie. Selain masalah korupsi, banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja, hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan multinasional.
Di sisi lain, perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan kepentingan ekonomi negara.
Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.
Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.
Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah akan betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.
Isu lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada dikawasan hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas 47,059 juta ha. Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
DI SEKTOR KEHUTANAN : Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome; Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.
Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola 59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat hutan tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi (2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7 propinsi.
Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil” memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.
Berbagai kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus mis-manajemen yang diungkap pada Habibie. Selain masalah korupsi, banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja, hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan multinasional.
Di sisi lain, perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan kepentingan ekonomi negara.
Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.
Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.
Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah akan betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.
Isu lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada dikawasan hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas 47,059 juta ha. Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
DI SEKTOR KEHUTANAN : Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome; Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.
Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola 59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat hutan tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi (2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7 propinsi.
Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
Mencegah banjir
Lubang Resapan Biopori - Mencegah banjir dimusim hujan
Hujan turun banjirpun datang, begitulah fenomena yang kini terjadi di beberapa daerah di negri kita ini. Setiap musim hujan tiba, banyak orang selalu khawatir akan datangnya banjir. Banjir di musim hujan dan kekeringan air di musim kemarau menjadi masalah yang serius dari tahun ke tahun.
Banjir menjadi agenda tahunan bagi warga yang tinggal didaerah pinggiran sungai. Namun jangan heran, dataran yang jauh dari sungai pun kini sudah tidak luput dari banjir. Akhir-akhir ini, banjir tidak lagi terjadi di daerah pinggiran sungai saja, namun banjir terjadi juga di daerah dataran tinggi. Hal ini terjadi karena tanah sudah kehilangan fungsinya dalam menyerap air, akibat dari maraknya penebangan hutan dan pembangungan gedung dan perumahan yang tidak ramah lingkungan.
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan agar dapat mengurangi banjir tahunan, yaitu dengan menanam banyak pepohonan agar air hujan tidak langsung mengalir ke sungai, tetapi tertahan pada akar pepohonan. Kandungan air pada akar pepohonan akan berfungsi sebagai reservoir di musim kemarau.
Mengolah sampah dengan benar. Tidak membuang sampah ke sungai atau ke jalanan, juga dapat mengurangi bahaya banjir. Jika sampah dibuang sembarangan, sampah dapat menyumbat saluran-saluran air yang ada dan mengakibatkan banjir saat hujan datang.
Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi banjir sangat memegang peranan penting. Kurangnya kepedulian warga dan lemahnya peran pemerintahan menjalankan peraturan yang ada, memicu masalah banjir semakin buruk dari tahun ke tahun.
Salah satu cara terbaru, dengan biaya cukup murah, untuk mengatasi banjir ini adalah dengan mebuat lubang resapan Biopori di dalam tanah. Biopori sendiri merupakan pori-pori berbentuk lubang (terowongan ) yang terbentuk oleh aktivitas organisme tanah dan pengakaran tanaman. Aktivitas merekalah yang akan menciptakan rongga-rongga atau liang-liang di dalam tanah, dimana rongga-rongga tersebut akan terisi udara yang menjadi saluran air untuk meresap ke dalam tanah.
Bila lubang-lubang seperti ini dibuat dalam jumlah yang banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah. Dengan kata lain akan mengurangi banjir yang mungkin akan terjadi. Karena air dapat diserap langsung ke dalam tanah.
Peningkatan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal kedalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-sampah organik rumah tangga, potongan rumput dan vegetasi lainnya.
Bahan organik ini, melalui proses pengomposan, menjadi sumber energi bagi organisme di dalam tanah. Dengan adanya bahan organik yang cukup, aktifitas mereka didalam tanah akan meningkat. Dengan meningkatnya aktifitas organisme dalam tanah maka akan semakin banyak rongga-rongga biopori yang terbentuk.
Cara ini boleh dibilang murah dan mudah dibuat dibandingkan dengan membuat sumur resapan yang memerlukan lahan luas dan biaya bahan yang cukup besar. Lubang Biopori bisa dibuat dimana saja; gedung perkantoran, taman dan kebun, pelataran parkir, halaman rumah terutama disekitar rumah yang berlahan sempit sekalipun, dan juga bisa dibuat di dasar parit. Dengan alat yang sederhana, pembuatan lubang biopori ini dapat dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga juga.
Cara membuat biopori
Buat lubang berbentuk silinder secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, dengan kedalaman lubang 80-100cm. Lubang resapan ini bisa dibuat halam rumah, didasar saluran air (got), batas antara tanam dan teras, atau pada tanah lapang berumput, dimana ada genangan dan aliran air hujan.Agar pinggiran lubang tidak cepat rusak, bibir lubang diperkuat dengan adonan semen selebar 2-3 cm dengan tinggi 10 cm, disekeliling mulut lubang agar tak cepat rusak terkikis. Atau memasang pipa paralon diamerter 12cm di bagian atasnya.
Masukan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa-sisa tanaman, daun yang terjatuh mengering, potongan rumput dan sampah vegatasi lainnya kedalam lubang tersebut. Sampah organik ini memancing binatang-binatang kecil seperti cacing atau rayap masuk kedalam lubang dan membuat rongga biopori sebagai saluran-saluran kecil.
Sampah dalam lubang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses pengomposan. Sampah yang telah terurai oleh microba ini dikenal sebagai kompos yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik. Melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai bidang peresap air juga sekaligus berfungsi sebagai alat pembuat kompos.
Tambahkan sampah organik kedalam lubang, karena sampah lambat laun akan menyusut. Setelah lubang dirasakan sudah penuh, kompos bisa diambil untuk dijadikan pupuk tanaman. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman, seperti tanaman hias, sayuran, buah-buahan dan jenis tanaman lainnya.
Hujan turun banjirpun datang, begitulah fenomena yang kini terjadi di beberapa daerah di negri kita ini. Setiap musim hujan tiba, banyak orang selalu khawatir akan datangnya banjir. Banjir di musim hujan dan kekeringan air di musim kemarau menjadi masalah yang serius dari tahun ke tahun.
Banjir menjadi agenda tahunan bagi warga yang tinggal didaerah pinggiran sungai. Namun jangan heran, dataran yang jauh dari sungai pun kini sudah tidak luput dari banjir. Akhir-akhir ini, banjir tidak lagi terjadi di daerah pinggiran sungai saja, namun banjir terjadi juga di daerah dataran tinggi. Hal ini terjadi karena tanah sudah kehilangan fungsinya dalam menyerap air, akibat dari maraknya penebangan hutan dan pembangungan gedung dan perumahan yang tidak ramah lingkungan.
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan agar dapat mengurangi banjir tahunan, yaitu dengan menanam banyak pepohonan agar air hujan tidak langsung mengalir ke sungai, tetapi tertahan pada akar pepohonan. Kandungan air pada akar pepohonan akan berfungsi sebagai reservoir di musim kemarau.
Mengolah sampah dengan benar. Tidak membuang sampah ke sungai atau ke jalanan, juga dapat mengurangi bahaya banjir. Jika sampah dibuang sembarangan, sampah dapat menyumbat saluran-saluran air yang ada dan mengakibatkan banjir saat hujan datang.
Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi banjir sangat memegang peranan penting. Kurangnya kepedulian warga dan lemahnya peran pemerintahan menjalankan peraturan yang ada, memicu masalah banjir semakin buruk dari tahun ke tahun.
Salah satu cara terbaru, dengan biaya cukup murah, untuk mengatasi banjir ini adalah dengan mebuat lubang resapan Biopori di dalam tanah. Biopori sendiri merupakan pori-pori berbentuk lubang (terowongan ) yang terbentuk oleh aktivitas organisme tanah dan pengakaran tanaman. Aktivitas merekalah yang akan menciptakan rongga-rongga atau liang-liang di dalam tanah, dimana rongga-rongga tersebut akan terisi udara yang menjadi saluran air untuk meresap ke dalam tanah.
Bila lubang-lubang seperti ini dibuat dalam jumlah yang banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah. Dengan kata lain akan mengurangi banjir yang mungkin akan terjadi. Karena air dapat diserap langsung ke dalam tanah.
Peningkatan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal kedalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-sampah organik rumah tangga, potongan rumput dan vegetasi lainnya.
Bahan organik ini, melalui proses pengomposan, menjadi sumber energi bagi organisme di dalam tanah. Dengan adanya bahan organik yang cukup, aktifitas mereka didalam tanah akan meningkat. Dengan meningkatnya aktifitas organisme dalam tanah maka akan semakin banyak rongga-rongga biopori yang terbentuk.
Cara ini boleh dibilang murah dan mudah dibuat dibandingkan dengan membuat sumur resapan yang memerlukan lahan luas dan biaya bahan yang cukup besar. Lubang Biopori bisa dibuat dimana saja; gedung perkantoran, taman dan kebun, pelataran parkir, halaman rumah terutama disekitar rumah yang berlahan sempit sekalipun, dan juga bisa dibuat di dasar parit. Dengan alat yang sederhana, pembuatan lubang biopori ini dapat dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga juga.
Cara membuat biopori
Buat lubang berbentuk silinder secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, dengan kedalaman lubang 80-100cm. Lubang resapan ini bisa dibuat halam rumah, didasar saluran air (got), batas antara tanam dan teras, atau pada tanah lapang berumput, dimana ada genangan dan aliran air hujan.Agar pinggiran lubang tidak cepat rusak, bibir lubang diperkuat dengan adonan semen selebar 2-3 cm dengan tinggi 10 cm, disekeliling mulut lubang agar tak cepat rusak terkikis. Atau memasang pipa paralon diamerter 12cm di bagian atasnya.
Masukan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa-sisa tanaman, daun yang terjatuh mengering, potongan rumput dan sampah vegatasi lainnya kedalam lubang tersebut. Sampah organik ini memancing binatang-binatang kecil seperti cacing atau rayap masuk kedalam lubang dan membuat rongga biopori sebagai saluran-saluran kecil.
Sampah dalam lubang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses pengomposan. Sampah yang telah terurai oleh microba ini dikenal sebagai kompos yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik. Melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai bidang peresap air juga sekaligus berfungsi sebagai alat pembuat kompos.
Tambahkan sampah organik kedalam lubang, karena sampah lambat laun akan menyusut. Setelah lubang dirasakan sudah penuh, kompos bisa diambil untuk dijadikan pupuk tanaman. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman, seperti tanaman hias, sayuran, buah-buahan dan jenis tanaman lainnya.
Langganan:
Komentar (Atom)
